Senin, 21 Desember 2009

SEJARAH


SEJARAH
Introspeksi arti tashawuf meliputi misi, visi, pertumbuhan, faktor pendorong kemunculan, dan posisinya sebagai bagian dari epistimologi. Ada beberapa definisi tashawuf, antara lain didefinisikan sebagai bukan gerak lahir dan bukan pengetahuan, tetapi kebijakan. Al-Junaid al-Baghdadi menyatakan bahwa tashawuf adalah penyerahan diri pada Allah. Ada juga yang berpendapat bahwa tashawuf adalah makan sedikit demi mencari kedamaian dalam zat Allah SWT. dan menarik diri dari khalayak.
Kalau anda terus membaca definisi-definisi tashawuf yang ada, anda bisa terjebak dalam satu pojok: tashawuf, kalau begitu, sama dengan zuhud; tashawuf berarti lapar. Ada yang mengatakan bahwa, agar anda tidak cepat dimasuki setan, anda harus mengosongkan perut sehingga mudah mengendalikan diri. Akan tetapi, ada juga yang secara berseloroh mengatakan, justru perut harus diisi agar setan tidak bisa masuk. Ada yang menyimpulkan bahwa tashawuf pada intinya adalah zuhud. Tashawuf seolah-olah hanya terkait dengan akhirat, tidak dengan dunia; reaksinya pada dunia adalah negatif dan mengharuskan hidup miskin. Adakah tashawuf memang demikian? Tampaknya, kita harus berkunjung ke sarang para sufi. Sebab, belajar tashawuf hanya mendengar saja, sama artinya dengan tidak belajar; seperti halnya ketika anda belajar mengemudi mobil hanya melalui ceramah saja tanpa praktik.
Definisi-definisi di atas, tidak menjelaskan tashawuf yang sebenarnya. Definisi tersebut hanya petunjuk saja. Tujuan tashawuf tidak akan dapat dipahami dan dijelaskan dengan persepsi apapun, filosofis maupun yang lain. Hanya kearifan hati yang mampu memahami sebagian dari banyak seginya. Diperlukan suatu pengalaman rohani yang tidak bergantung pada metode-metode indra ataupun pemikiran.
Fazlur Rahman, seorang guru besar ilmu Keislaman di Universitas Chicago Amerika Serikat, berkata : ”Timbulnya tashawuf dalam Islam bukan sesuatu yang aneh, bahkan menurut saya, ˜wajib". Kurang keislamannya bila seseorang tidak mengambil tashawuf, kira-kira demikian. Nabi kita, sebelum menjadi Rasulpun, adalah seorang sufi. Beliau hidup sederhana, memikirkan kebenaran, merenungkan alam, dan bertapa (Uzlah).
Fazlur Rahman mengatakan bahwa permulaan gerakan sufi berhubungan dengan satu kelompok muslim yang senang melakukan pertapaan. Mereka senang membaca al-Quran dengan cara menangis. Mereka juga senang bercerita. Cerita-cerita mereka sangat mempengaruhi para pendengarnya. Akan tetapi, yang penting di sini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebelum menjadi Rasul maupun sesudahnya adalah seorang sufi. Demikian juga halnya para sahabat Beliau. Hanya saja, waktu itu belum dikenal yang namanya tashawuf. Urutan Riyadhah-nya belum dikodifikasikan dan belum dibuat rumusan-rumusan.
Sekarang, tashawuf sudah menjadi berbagai thoriqoh, metode-metodenya sudah begitu teratur. Di zaman Rasul dan Sahabat, tashawuf belum seperti sekarang. Namun, pada esensinya, mereka sama dengan para sufi zaman-zaman selanjutnya.
Banyak orang belum begitu paham tentang apa itu tashawuf dan apa itu thoriqoh. Konsekuensinya, kalau anda ingin mengambil tashallallahu ‘alaihi wa sallamuf, pasti anda mengambil thoriqoh. Sebab, pengamalan tashawuf ada dalam berbagai thoriqoh.
Bila tashawuf hanya diartikan sebagai banyak berpuasa, tidak mau diajak korupsi, atau hanya diartikan sebagai suatu sikap keilmuan, orang tidak perlu ikut thoriqoh. Akan tetapi, bila tashawuf sudah mencapai pengertian riyadhah (latihan dengan menempuh berbagai tingkatan tertentu), orang harus mengambil thoriqoh. Harus ada bentuknya, apapun namanya, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, dan sebagainya.
Hal ini penting bila anda menghadapi anggapan orang yang mengatakan bahwa thoriqoh atau tashawuf bukan ajaran Islam atau bid’ah. Anda dapat mengatakan bahwa, sebelum menjadi Rasul pun, Nabi Muhammad adalah seorang sufi. Para sahabat yang tinggal di shuffah pun tidak diusir oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta para sahabat lain untuk membantu memberi makan mereka.
Ajaran tawakal dalam al-Quran mendorong timbulnya tashawuf yang bercirikan zuhud. Tawakkal adalah penyerahan diri. Pentingnya pengalaman spiritual yang ditekankan dalam al-Quran juga memberikan pengaruh bagi timbulnya tashawuf. Menurut Fazlur Rahman, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar diperintah oleh Allah menjadi Rasul tatkala beliau menyaksikan sesuatu melalui pengalaman-pengalaman spiritual. Jadi, kesadaran kerasulan justru dimulai dari pengalaman spiritual. Fazlur Rahman melihat ayat-ayat yang berisi hal-hal spiritual umumnya sebagai ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah. jarang dijumpai ayat-ayat Madaniyah yang berisi pentingnya pengalaman-pengalaman spiritual.
Menurut Rahman, kenyataan ini mengharuskan adanya dasar-dasar keyakinan dari dorongan pengalaman spiritual terlebih dulu yang kelak menjadi landasan bagi pembangunan umat Islam di Madinah.
Berkaitan dengan hal di atas, kita bisa membuat analogi, kalau anda mau jadi presiden atau ketua RW, misalnya, anda tentu harus mempunyai landasan yang kuat untuk pekerjaan itu. Kalau tidak, anda bisa oleng , kira-kira demikian. Pengalaman spiritual termasuk sikap tawakal dan hidup sederhana , bermuara dari zuhud. Faktor paling dominan yang menyebabkan timbulnnya gerakan tashawuf adalah ajaran zuhud dalam Islam. gampangnya, zuhud berarti hidup sederhana.
Perkembangan tashawuf mempunyai makna yang khusus ketika muncul guru-guru sufi. Pada tahap pertama, berjalanlah tashawuf dalam arti zuhud dan ibadah-ibadah sunnah. Hal ini terjadi kira-kira sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tahap kedua, muncul guru-guru sufi yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Mereka mengajarkan wirid dan thoriqohnya.
Sebelum masa al-Ghazali pun, jenis-jenis thoriqoh sudah ada. Lalu ada perkembangan sangat berarti di zaman al-Ghazali yang berjalan cukup panjang. Pada masa itu, tashawuf sudah berbeda dari sebelumnya, karena sudah bercampur dengan filsafat.
Di kalangan Syi’ah, tradisi tashawuf kuat sekali, disertai dengan filsafat dan fikih ortodoks yang kokoh. Pikiran Syi’ah memang agak ganjil. Fikih Syi’ah kadang-kadang tampak rasional dan kadang-kadang tampak kaku sekali. Filsafat mereka juga kadang-kadang rasional sekali dan kadang justeru bercampur dengan irfan sehingga tidak tampak lagi ciri rasionalnya.
Kesimpulannya, bahwasanya tashawuf memang sudah ada sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun saat  itu belum dimodifikasi seperti pada saat ini. Jadi, bagi siapapun yang tidak sepaham dengan doktrin tashawuf, apalagi sampai berkata tashawuf bidah, berarti dia tidak membaca dan memetik intisari sejarah yang penuh hikmah dan arti.

THORIQOH TIJANIAH


THORIQOH TIJANIAH
Mu’assis Thoriqoh Tijaniyyah ini adalah wali khatmi wal katmi Sayidisy Syaikh Abul ‘Abbas Ahmad bin Muhammad At-Tijani radliyallahu ‘anhu (1150-1230 H). Jalur nasab ayahnya bersambung sampai kepada Sayidina Hasan As-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib radliallahu anhum.
Pada tahun 1196 H, Syaikh Ahmad At-Tijani pergi ke sebuah tempat yang tenang dan barakah  di padang sahara, yang di situ tinggal seorang wali agung  Abu Samghun. Di tempat itu beliau memperoleh alfath al-akbar (anugerah yang sangat besar) dari Allah Subhanahu wa ta'ala, yaitu bermuwajahah (bertatap muka) dengan Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam secara yaqadhah (keadaan jaga/bukan mimpi). Pada saat itu Rasulullah mentalqin beliau untuk; a).Wirid istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali, dan b).mentalqinkan wirid tersebut kepada umat Islam yang berminat sekalipun berdosa. Dan juga bersabda kepada beliau: ”Tidak ada karunia bagi seorang makhluk pun dari para guru thoriqoh atas kamu. Akulah wasilah (perantaramu dan pembimbingmu dengan sebenar-benarnya), maka tinggalkanlah semua thoriqoh yang telah kamu ikuti.”
Pelaksanaan wirid tersebut  berjalan selama empat tahun. Dan pada tahun 1200 H, wirid itu  disempurnakan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam dengan ditambah lailallah (Laa ilaaha illallah).
Thoriqoh Tijaniyah ini tersebar luas di Mesir, Kepulauan Arab, sebagian penjuru Asia, Afrika Hitam, dan juga di barat Afrrika.
Para pengikut Thoriqoh ini mempunyai sumbangan yang besar terhadap Islam, karena mereka telah menyebarkan prinsip-prinsip Islam ke tengah-tengah kaum penyembah berhala di Afrika, dan memasukkan mereka ke dalam Islam, sebagaimana sumbangan mereka yang juga besar dalam menolak misi para misionarris Nasrani di Afrika.
Kitab tentang sejarah thoriqoh ini serta dzikir-dzikirnya telah ditulis oleh para guru Tijaniyah, yaitu Jawahirul Ma’ani wa Bulughul Amani fi Faidl Asy-Syaikh  At-Tijani atau yang juga dikenal  dengan kitab  Al-Kanais.